Banyak diantara kita lebih bersemangat mempelajari dan mengkaji
masalah dunia, bahkan ahli dan pakar di dalamnya. Tiba giliran
mempelajari agama, dan mengkajinya, banyak diantara kita malas dan
menjauh, sebab tak ada keuntungan duniawinya.
Bahkan terkadang menuduh orang yang belajar agama sebagai orang kolot,
dan terbelakang. Ini tentunya adalah cara pandang yang keliru. Na’udzu
billahi min dzalik
Wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ) adalah sebuah sunnah (petunjuk) yang berhukum wajib, ketika seseorang mau menegakkan sholat. Sunnah ini banyak dilalaikan oleh kaum muslimin pada hari ini sehingga terkadang kita tersenyum heran saat melihat ada sebagian diantara mereka yang berwudhu’ seperti anak-anak kecil, tak karuan dan asal-asalan. Mereka mengira bahwa wudhu itu hanya sekedar membasuh dan mengusap anggota badan dalam wudhu’. Semua ini terjadi karena kejahilan tentang agama, taqlid buta kepada orang, dan kurangnya semangat dalam mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Banyak diantara kita lebih bersemangat mempelajari dan mengkaji masalah dunia, bahkan ahli dan pakar di dalamnya. Tiba giliran mempelajari agama, dan mengkajinya, banyak diantara kita malas dan menjauh, sebab tak ada keuntungan duniawinya. Bahkan terkadang menuduh orang yang belajar agama sebagai orang kolot, dan terbelakang. Ini tentunya adalah cara pandang yang keliru. Na’udzu billahi min dzalik.
Wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ) adalah sebuah sunnah (petunjuk) yang berhukum wajib, ketika seseorang mau menegakkan sholat. Sunnah ini banyak dilalaikan oleh kaum muslimin pada hari ini sehingga terkadang kita tersenyum heran saat melihat ada sebagian diantara mereka yang berwudhu’ seperti anak-anak kecil, tak karuan dan asal-asalan. Mereka mengira bahwa wudhu itu hanya sekedar membasuh dan mengusap anggota badan dalam wudhu’. Semua ini terjadi karena kejahilan tentang agama, taqlid buta kepada orang, dan kurangnya semangat dalam mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Banyak diantara kita lebih bersemangat mempelajari dan mengkaji masalah dunia, bahkan ahli dan pakar di dalamnya. Tiba giliran mempelajari agama, dan mengkajinya, banyak diantara kita malas dan menjauh, sebab tak ada keuntungan duniawinya. Bahkan terkadang menuduh orang yang belajar agama sebagai orang kolot, dan terbelakang. Ini tentunya adalah cara pandang yang keliru. Na’udzu billahi min dzalik.
Para pembaca yang budiman, demi menghilangkan kejahilan dan keraguan kita tentang cara berwudhu’, maka ada baiknya kami mengajak anda berkeliling menikmati dan memperhatikan hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang menjelaskan tata cara dan kaifiat wudhu yang benar. Karena pembahasan wudhu’ ini agak panjang, maka –insya’ Allah- kami akan menurunkan pembahasan ini secara musalsal (berseri).
* Batasan Wudhu’ Bila menilik kitab-kitab dan manuskripsi klasik dan
kontemporer para ulama kita, maka anda akan menjumpai bahwa para ahli
ilmu telah membahas definisi dan batasan wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ) dari
sisi bahasa maupun istilah dalam syara’.
Seorang ahli bahasa, Al-Imam Ibnul Atsir Al-Jazariy -rahimahullah-
menjelaskan bahwa jika dikatakan wadhu’ ( الْوَضُوْءُ ), maka yang
dimaksud adalah air yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu’ (
الْوُضُوْءُ ), maka yang diinginkan disitu adalah perbuatannya. Jadi,
wudhu adalah perbuatan, sedang wadhu’ adalah air wudhu’. [Lihat
An-Nihayah fi Ghoribil Hadits (5/428)]
Syari’at wudhu’ mengandung hikmah yang amat dalam. Diantara hikmah
wudhu’, seorang dibimbing agar ia memulai aktifitas ibadah dan
kehidupannya dengan kesucian dan keindahan. Sebab wudhu itu sebenarnya
bermakna keindahan, dan kesucian [Lihat Ash-Shihhah fil Lughoh (2/282)
karya Al-Jauhariy] Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’iy -rahimahullah-
berkata, “Kata wudhu’ terambil dari kata al-wadho’ah/kesucian (
الْوَضَاءَةُ ). Wudhu disebut demikian, karena orang yang sholat
membersihkan diri dengannya. Akhirnya, ia menjadi orang yang suci”.
[Lihat Fathul Bariy (1/306)] Adapun makna wudhu’ menurut tinjauan
syari’at, kata Syaikh Sholih Ibnu Ghonim As-Sadlan -hafizhohullah-,
مَعْنَى الْوُضُوْءِ : اسْتِعْمَالُ مَاءٍ طَهُوْرٍ فِي اْلأَعْضَاءِ اْلأَرْبَعَةِ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوْصَةٍ فِي الشَرْعِ
“Makna wudhu’ adalah menggunakan air yang suci lagi menyucikan pada
anggota-anggota badan yang empat (wajah, tangan, kepala, dan kaki)
berdasarkan tata cara yang khusus menurut syari’at”. [Lihat Risalah fi
Al-Fiqh Al-Muyassar (hal. 19)]
* Kewajiban-kewajiban Wudhu’
Para ulama fiqih telah menerangkan bahwa wudhu memiliki
kewajiban-kewajiban ( فُرُوْضٌ ), yakni anggota-anggota badan yang harus
dan wajib dibasuh (dicuci). Kewajiban-kewajiban ( فُرُوْضٌ ) tersebut
adalah:
1. Membasuh wajah. Termasuk wajah, adalah hidung, dan mulut.
2. Membasuh kedua tangan sampai kepada dua siku.
3. Mengusap kepala (termasuk kepala, adalah kedua telinga kita)
4. Membasuh kedua kaki sampai kepada kedua mata kaki
5. Melakukannya secara berurutan sesuai yang disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Maa’idah : 6)
6. Dilakukan secara beruntun, tanpa selang waktu yang lama.
2. Membasuh kedua tangan sampai kepada dua siku.
3. Mengusap kepala (termasuk kepala, adalah kedua telinga kita)
4. Membasuh kedua kaki sampai kepada kedua mata kaki
5. Melakukannya secara berurutan sesuai yang disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Maa’idah : 6)
6. Dilakukan secara beruntun, tanpa selang waktu yang lama.
Inilah enam furudh (kewajiban) bagi wudhu’ yang harus anda penuhi.
Kapan ada salah satunya yang tak terpenuhi, maka wudhu’ kita tak sah,
walaupun berwudhu’ beribu-ribu kali. Enam perkara ini telah disebutkan
oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Allah (Azza wa Jalla) berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS.
Al-Maa’idah : 6)
Dari sebagian sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلاً
يُصَلّيِْ وَفِي ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرَ الدِّرْهَمِ لَمْ
يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلاَةَ
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melihat seseorang
melakukan sholat, sedang pada punggung kakinya terdapat lum’ah (bagian
yang tak tercuci) seukuran uang dirham yang tak terkena air wudhu. Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- pun memerintahkannya untuk mengulangi
wudhu’ dan sholatnya”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1/216), dan Ahmad
(14948). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa'
(86)]
Muhaddits Negeri India, Syamsul Haqq Al-Azhim Al-Abadiy
-rahimahullah- berkata saat memetik faedah agung dari hadits ini,
“Hadits ini di dalamnya terdapat dalil yang gamblang tentang wajibnya
muwaalat (melakukan wudhu secara beruntun, tanpa selang waktu yang
lama). Karena perintah mengulangi wudhu’ sebab membiarkan adanya lum’ah
(bagian yang tak tercuci). Perintah itu tak terjadi, kecuali karena
wajibnya muwaalaat. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, Al-Auza’iy, Ahmad
bin Hanbal, dan Asy-Syafi’iy dalam sebuah pendapat beliau”. [Lihat
Aunul Ma'bud (1/192)]
Hadits ini adalah hujjah atas orang-orang Syi’ah-Rofidhoh, sebab
hadits ini menjelaskan wajibnya mencuci kaki, bukan diusap sebagaimana
yang disangka oleh orang-orang jahil dari kalangan Syi’ah-Rofidhoh.
Barangsiapa yang tidak mencuci alias membasuh kaki saat berwudhu’, maka
wudhu’nya tak sah, dan juga sholatnya tak sah. Bahkan boleh jadi ia
berdosa dengan perbuatannya tersebut, sebab ia menganggap sesuatu yang
haram sebagai ibadah dan ketaatan!! Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir
Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa (seperti, kalangan
Syi’ah) yang mewajibkan mengusap kedua kaki sebagaimana khuff (sepatu
selop) diusap, maka sungguh ia sesat, dan menyesatkan!! Demikian pula
barangsiapa yang membolehkan untuk mengusap kedua kakinya, dan
membolehkan mencuci keduanya, maka sungguh ia telah keliru juga.
Barangsiapa yang menukil dari Abu Ja’far Ibnu Jarir bahwa beliau
mewajibkan mencuci keduanya berdasarkan hadits-hadits tersebut, dan
mewajibkan pengusapan keduanya berdasarkan ayat ini, maka ia belumlah
mendudukkan madzhab Ibnu Jarir dengan benar dalam perkara itu. Karena
ucapan beliau dalam Tafsir-nya hanyalah menunjukkan bahwa yang beliau
maksudkan bahwa wajib menggosok kedua kaki dibandingkan anggota badan
lainnya, sebab kedua kaki menyentuh tanah, lumpur, dan lainnya. Lantaran
itu, beliau mewajibkan untuk menggosok kedua kaki agar hilang sesuatu
yang ada di atasnya. Cuma beliau mengungkapkan tentang menggosok dengan
kata “mengusap”. Maka orang yang tidak merenungi ucapan beliau meyakini
bahwa beliau menginginkan wajibnya menggabungkan antara mencuci dan
mengusap kedua kaki!!”. [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Karim (3/53)]
Diantara dalil dari As-Sunnah An-Nabawiyyah yang menunjukkan wajibnya
mencuci kaki, hadits dari Abdullah bin Amr -radhiyallahu anhu- beliau
berkata,
تَخَلَّفَ عَنَّا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ
سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ،
صَلاَةُ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى
أَرْجُلِنَا، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ : أَسْبِغُوْا الْوُضُوْءَ
وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah tertinggal dari
kami dalam suatu safar yang kami lakukan. Kemudian beliau pun menjangkau
kami, sedang sungguh sholat telah menjumpai kami –yaitu sholat Ashar-.
Kami berwudhu’, lalu kami mulai menggosok kedua kaki kami. Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- berteriak dengan sekeras-kerasnya,
“Sempurnakanlah wudhu’!! Kecelakaan bagi tumit-tumit dari neraka”. [HR.
Al-Bukhoriy (60), dan Muslim (241)]
Para pembaca yang budiman, ketika seseorang berwudhu, maka ada
beberapa perkara yang perlu diingat bahwa saat mengusap kepala,
hendaknya jangan lupa mengusap kedua telinga karena keduanya termasuk
kategori kepala. Oleh karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
pernah bersabda usai mengusap kepala dan telinganya,
الاُذُنَانِ مِنْ الرَّأْسِ
“Kedua telinga termasuk kepala”. [HR. Abu Dawud (134), At-Tirmidziy
(37), dan Ibnu Majah (444). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (36)] Ahli Hadits Negeri Syam, Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan
faedah-faedah dari hadits ini, “Jika hadits ini sungguh telah shohih,
maka ia menunjukkan tentang dua perkara yang berselisih di dalamnya
pendapat para ulama’. Adapun perkara yang pertama, yaitu bahwa mengusap
kedua telinga, apakah wajib atau sunnah (mustahab)? Pendapat pertama
(wajibnya mengusap telinga) didukung oleh orang-orang Hanabilah. Hujjah
mereka adalah hadits ini, karena sesungguhnya hadits ini tegas dalam
memasukkan kedua telinga dalam kategori kepala. Tidaklah demikian,
kecuali untuk menjelaskan bahwa hukum keduanya dalam pengusapan seperti
hukum kepala dalam hal itu. Jumhur condong menyatakan bahwa mengusap
kedua telinga adalah sunnah (mustahab) saja sebagaimana yang tertera
dalam kitab Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (1/56). Namun kami belum
pernah menemukan hujjah yang boleh dipegangi dalam menyelisihi hadits
ini (yakni, hadits di atas), kecuali ucapan An-Nawawiy dalam Al-Majmu’
(1/415), “Sesungguhnya hadits itu dho’if (lemah) dari seluruh
jalur-jalur periwayatannya”. Jika anda telah mengetahui bahwa masalahnya
tidaklah demikian, dan bahwa sebagian jalur-jalur periwayatan hadits
itu adalah shohih, belum pernah ditelaah oleh An-Nawawiy; sebagiannya
lagi shohih li ghoirih, maka anda mampu mengenal kelemahan hujjah ini
(yakni, pernyataan An-Nawawiy), dan wajibnya berpegang teguh dengan
pendapat yang ditunjukkan oleh hadits di atas berupa wajibnya mengusap
kedua telinga, dan bahwa keduanya dalam hal itu seperti kedudukan
kepala. Cukuplah sebagai teladan bagi kalian dalam pendapat ini Imam
Sunnah Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal. Sedang pendahulu beliau dalam
pendapat tersebut adalah sekelompok sahabat yang telah berlalu
penyebutan nama sebagian diantara mereka di sela-sela men-takhrij hadits
ini (yakni hadits di atas). Sedang An-Nawawiy sungguh telah
mengembalikan pendapat ini (1/413) kepada mayoritas salaf”. [Lihat
Ash-Shohihah (1/1/95/no. 36)] Jadi, pendapat tentang wajibnya mengusap
kedua telinga , sebab ia adalah bagian dari kepala adalah pendapat yang
terkuat berdasarkan hadits di atas. Oleh karenanya, kebanyakan salaf
(sahabat dan tabi’in) menguatkan pendapat ini. Al-Imam Al-Hafizh Abu Isa
Muhammad bin Isa At-Tirmidziy -rahimahullah- berkata tentang hadits
yang menyatakan bahwa telinga termasuk kepala, “Amalan adalah
berdasarkan hadits ini di sisi mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, dan orang-orang setelahnya bahwa
kedua telinga termasuk bagian dari kepala. Pendapat inilah yang
dinyatakan oleh Sufyan Ats-Tsauriy, Ibnul Mubarok, Asy-Syafi’iy, Ahmad,
dan Ishaq”. [Lihat Sunan At-Tirmidziy (1/152), cet. Dar Ihya' At-Turots
Al-Arobiy, 1422 H]
Perkara lain yang perlu ditoleh ketika berwudhu’ –khususnya saat
membasuh wajah-, berkumur-kumur, dan menghirup air ke dalam hidung dari
satu telapak tangan, lalu menyemburkannya. Berkumur dan menghirup air ke
hidung merupakan kewajiban yang masuk dalam kewajiban membasuh wajah,
sebab mulut dan hidung bagian dari wajah.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَإِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلِيَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ
“Jika seorang diantara kalian berwudhu’, maka hendaknya memasukkan
air dalam hidungnya, lalu semburkanlah”. [Muslim dalam Ath-Thoharoh
(237)] Beliau juga bersabda dalam memerintahkan berkumur,
إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ
“Jika engkau berwudhu’, maka berkumur-kumurlah”. [HR. Abu Dawud dalam
Sunan-nya (144). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Shohih Sunan Abi Dawud (1/48/no. 144), cet. Maktabah Al-Ma'arif, 1421 H]
Di dalam hadits ini terdapat perintah berkumur-kumur dan menghirup
air ke hidung, lalu menyemburkannya. Ini menunjukkan wajibnya kedua
perkara itu, sebab segala yang diperintahkan beliau hukumnya wajib,
kecuali jika ada dalil lain yang memalingkan hukumnya menjadi mustahab
atau mubah, sedang dalam perkara ini tak ada dalil yang memalingkannya.
Jadi, hukumnya tetap wajib. Wallahu a’lam bish showaab.